Saat ini Rumaysho.Com akan mengkaji surah An-Nuur secara rutin. Bahasan perdana ini akan mengulas surah An-Nuur ayat pertama dan kedua yang menjelaskan tentang hukum bagi pezina dan peselingkuh.
Ayat 1-2
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آَيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (1) الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (2)
“(Ini adalah) satu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur: 1-2)
Faedah Ayat #01
1- Nama surah An-Nuur diambil dari ayat 35,
اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35)
2- Tidak ada satu hadits pun yang shahih yang menyebutkan keutamaan surah An-Nuur secara khusus.
3- Disebutkan bahwa surah ini diturunkan, menunjukkan bahwa surah ini berasal dari sisi Allah.
4- Kalau Al-Qur’an disandarkan pada sisi Allah maka menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu kalamullah (firman Allah), bukanlah makhluk.
5- Kalau Al-Qur’an dan surah itu diturunkan, menunjukkan bahwa Allah yang menurunkannya menetap tinggi di atas. Berarti ayat ini menunjukkan bahwa Allah bukan di mana-mana. Namun ketinggian Allah ini tidaklah menampik kalau Allah itu dekat, Allah itu bersama hamba-Nya dan ilmu Allah yang berada di mana-mana.
Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan,
اللهُ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ لاَ يَخْلُوْ مِنْهُ شَيْءٌ
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 140)
Murid Imam Syafi’i yang terkenal cerdas yaitu Imam Al-Muzani rahimahullah mengatakan, “Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui (meyakini) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” (Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 201). Imam Al-Muzani rahimahullah juga menyatakan, “Allah itu ‘Aali (Mahatinggi) di atas ‘Arsy-nya. Namun Allah itu dekat pada makhluk-Nya dengan ilmu-Nya.” (Syarh As-Sunnah, Imam Al-Muzani, hlm. 81)
6- Imam Mujahid dan Qatadah rahimahumallah menyatakan bahwa ayat “surah ini Kami turunkan”, maksudnya adalah surah ini berisi penjelasan halal, haram, perintah, larangan, hingga masalah hukum hudud (hadd). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:486). Hukuman hadd adalah hukuman badaniyah dengan cara dan kadar tertentu (menurut syari’at), dikenakan karena hak Allah Ta’ala yang dilanggar. (Lihat Minhah Al-‘Allam, 8:373.)
7- Dalam surah An-Nuur ini disebutkan hukum yang hendaknya diikuti. Surah ini juga diturunkan sebagai penjelas agar manusia bisa mengambil pelajaran.
Faedah Ayat #02
8- Wanita pezina dan laki-laki sama-sama didera dengan 100 kali cambukan. Ini berlaku bagi pezina yang masih bujang. Namun bagi yang telah menikah, maka dikenai hukuman rajam sebagaimana kisah wanita Juhainah dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Nujaid ‘Imran bin Al-Hushain Al-Khuza’i, ia berkata,
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى »
“Ada seorang wanita dari Bani Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan ia dalam keadaan hamil karena zina. Wanita ini lalu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku telah melakukan sesuatu yang perbuatan tersebut layak mendapatkan hukuman rajam. Laksanakanlah hukuman hadd atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkata pada walinya, “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan (kandungannya), maka datanglah padaku (dengan membawa dirinya).”
Wanita tersebut pun menjalani apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, beliau meminta wanita tersebut dipanggil, lalu diikat pakaiannya dengan erat (agar tidak terbuka auratnya ketika menjalani hukuman rajam, -pen.). Kemudian saat itu diperintah untuk dilaksanakan hukuman rajam. Wanita itu pun meninggal dunia, lantas beliau pun menyolatkannya. Ketika itu ‘Umar berkomentar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau menyolatkan dirinya, wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?” (HR. Muslim, no. 1696).
9- Ditambahkan dalam hadits selain dikenakan 100 kali cambukan, nantinya akan diasingkan.
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذُوْا عَنِّي خُذُوْا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“Ambillah dariku, ambillah dariku! Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar. (Apabila berzina) jejaka dengan gadis (maka haddnya) dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. (Apabila berzina) dua orang yang sudah menikah (maka hadd-nya) dicambuk seratus kali dan dirajam.” (HR. Muslim, no. 1690)
Dalam hadits Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata pada seseorang yang anaknya telah berzina,
وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ
“Bagi anakmu yang telah berzina, nantinya akan dikenakan hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.” (HR. Bukhari, no. 2695 dan Muslim, no. 1697)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan hukuman cambuk dan mengasingkan pelaku zina; Abu Bakr pun demikian. (HR. Tirmidzi, no. 1438. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)
Mengenai diasingkan di sini, diterangkan oleh ulama Syafi’iyah yaitu diasingkan dari negerinya ke tempat lain sejauh jarak safar dan diasingkan selama setahun setelah menjalani hukuman cambuk terlebih dahulu. (Lihat Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar, 2:180.)
10- Tidak boleh berbelas kasih dalam menerapkan hukuman hadd, misalnya kasihan karena yang dihukum adalah sudah sepuh atau kasihan karena hukumannya terlalu berat. Padahal hikmah dijatuhkan hukuman hadd di antaranya adalah sebagai penebus dosa (kafarat). Dari ‘Abdullah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan dalam suatu majelis,
وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Barang siapa terkena hukuman hadd, lantas ia dikenakan hukuman, maka itu adalah kafarat untuknya. Sedangkan orang yang terkena hukuman hadd lantas Allah menutupinya, maka urusannya diserahkan pada Allah. Jika mau, Allah akan memaafkannya. Jika mau, Allah akan menyiksanya.” (HR. Muslim, no. 1709)
11- Hukuman hadd diterapkan kalau memang yang berbuat zina berterus terang atau terdapat saksi.
12- Dalam ayat disebut “fajliduu”, hendaklah dicambuk, berarti yang menerapkan hukuman hadd adalah penguasa atau majikan dari hamba sahaya. Sehingga eksekusi hadd bukan jadi wewenang seorang kyai atau ustadz.
13- Apakah seseorang harus melaporkan tindakan zinanya pada penguasa sehingga mendapat hukuman hadd atau ia sebaiknya menyembunyikannya sembari bertaubat?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa dalam hal ini ada rincian.
- Jika seseorang yang berzina dapat melakukan taubat nashuha (taubat yang tulus), ia betul-betul menyesali dosanya dan bertekad tidak akan melakukannya lagi, maka lebih baik ia tidak pergi pada penguasa untuk melaporkan tindakan zina yang telah ia lakukan dan ia melakukan taubat secara sembunyi-sembunyi. Moga Allah menerima taubatnya.
- Jika seseorang sulit melakukan taubat nashuha, ia takut terjerumus lagi dalam dosa yang sama, maka lebih baik ia mengakui perbuatan zinanya dengan melapor pada penguasa atau pada qodhi (hakim), lantas ia dikenai hukuman had. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 1:169)
Kalau Allah tutupi dosa tersebut, baiknya ditutupi dan bertaubat dengan taubat nashuha (yang tulus). Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ آنَ لَكُمْ أَنْ تَنْتَهُوا عَنْ حُدُودِ اللَّهِ مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِى لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, aku telah mengingatkan kalian untuk berhati-hati pada batasan-batasan Allah. Barangsiapa terjerumus dalam perbuatan yang jelek, hendaknya ia menutupi dirinya dengan tirai Allah. Karena barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka kami pasti akan menegakkan ketetapan hukum Allah atasnya.” (HR. Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar, 1: 86; Al-Hakim, 4: 244; Al-Baihaqi, 8: 330. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 8: 435 menyatakan bahwa sanad hadits ini kuat atau shahih. Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.)
14- Kenapa pezina perempuan disebut lebih dahulu barulah pezina laki-laki? Para ulama menyebutkan:
- Wanita yang sering tabarruj (mempercantik diri dengan dandan menor, -pen.) sehingga membangkitkan syahwat.
- Wanita yang juga mempersilakan laki-laki untuk menyetubuhinya. Namun jika terjadi paksaan, tidak ada hukuman hadd.
- Syahwat wanita itu lebih tinggi dibanding pria, itu umumnya. Wanita memang dasarnya pemalu. Namun ketika terjadi perzinaan, hilanglah rasa malu tersebut dan syahwatnya begitu tinggi. Demikian diutarakan oleh Imam Al-Qurthubi.
- Di zaman ini dapat dibuktikan bahwa perempuan yang jadi penyebab terbesar tersebarnya perzinaan. Sampai-sampai pelacur untuk saat ini mudah menawarkan diri di rumah-rumah.
- Kerugian terbesar dari perzinaan dan perselingkuhan diderita oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Ketika sudah terjadi, rasa malu karena perut bunting tentu sulit disembunyikan oleh kaum hawa. (Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur, hlm. 11.)
15- Hendaklah hukuman hadd bagi pezina disaksikan oleh sekelompok orang (ada ulama yang berpendapat empat orang sebagaimana saksi dalam zina, ada pula yang mengatakan tiga orang). Di antara hikmah perlu disaksikan sekelompok orang ketika eksekusi hadd adalah:
- supaya yang lainnya mendapatkan pelajaran dan takut berbuat zina,
- supaya orang beriman terdorong untuk bertaubat dan memperbanyak istighfar,
- supaya adanya syari’at dan cara eksekusi hadd diketahui oleh kaum muslimin. (Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur, hlm. 29.)
Semoga bermanfaat, hanya Allah beri taufik dan hidayah.
Referensi:
- At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur. Cetakan kedua, tahun 1423 H. Syaikh Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
- Hasyiyah ‘ala Al-Qaul Al-Mukhtar fii Syarh Ghayah Al-Ikhtishar. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Sa’ad Ad-Din bin Muhammad Al-Kubi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
- Minhah Al-‘Allam Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Mukhtashar Al-‘Uluw li Al-‘Aliyy Al-Ghaffar. Cetakan kedua, tahun 1412 H. Imam Adz-Dzahabi. Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
- Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, tahun 1432 H. Al-Imam Al-Muzani. Tahqiq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Darul Minhaj.
- Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan tahun 1426 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathon.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat An-Nuur. Cetakan pertama, tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Ibnu ‘Utsaimin.
—
Diselesaikan @ Perpus Rumaysho, Panggang, Gunungkidul, 28 Dzulqa’dah 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com